Kamis, 24 Desember 2009

Chapter 2: Switch-in-Time

Belum pernah Alfred merasa seperti ini hanya dengan memakai jam baru. Bahkan walaupun jam itu ia dapat dari tanah di belakang rumahnya.
Rasanya....entahlah. Segar. Senang. Seakan jam itu memang telah memilih Alfred sebagai pemiliknya.
"Alf...."
Rintihan! Tapi dari mana?
Alf berdiri termangu, dan perlahan-lahan ia kehilangan kesadaran.
Terjatuh.
Dan terjatuh.
Tenggelam dalam kegelapan....

"Hei, BANGUN!!! Aku minta bayaranku untuk merawatmu begini! BANGUN kataku!"
Alf membuka matanya perlahan. Sesaat cahaya sore yang silau menerobos matanya dalam jumlah besar, namun kemudian pupil matanya mulai beradaptasi. Dan saat ia benar-benar dapat melihat dengan jelas....
Ia sudah tidak di rumahnya lagi.
"Mmm....ini dimana?" katanya linglung pada seorang terdekat.
Pria itu memelototinya dengan murka sebelum menjawab.
Gawat, pikir Alf.
Ia segera melonjak turun, namun pria itu mengejarnya.
"BAYAR DULU!!! Penginapan di sini tidak GRATIS tahu!"
Alf tidak memedulikannya. Ia bahkan tidak yakin bahwa uang yang ada di sakunya adalah mata uang di tempat aneh ini.
Namun pria itu bergerak cepat, dan dalam sedetik lagi Alf akan terkejar.
Akalnya butntu. Namun nalurinya menyuruhnya melakukan sesuatu.
Gunakan jamnya....
Alf tidak mengerti maksudnya, namun ia menyentil tutup jamnya — bagian kaca pembesar — dan menekan tombol pengatur waktunya beberapa kali.
Muncul siluet di layar!
Dengan panik, ia kembali menutup kaca pembesar jamnya hingga berbunyi 'klik'.
Sekilas cahaya terang muncul.
Namun saat sinar itu meredup, tiba-tiba Alf menyadari bahwa ia tidak berada di tubuhnya sendiri lagi!

Sabtu, 06 Desember 2008

Episode 2: The Fire

Aku sangat kesal. Willy sialaaan! Apa nggak ada kerjaan lain?
Begini, aku menyadari kalau diintip oleh Willy segera setelah lambang apiku mulai menyala. Padahal kalau hal ini menyebar, bisa gawat jadinya! Begitu tahu kalau aku diintip, aku langsung mengejar Willy dan meninju bahunya. "Aw! Sakit tau!" protes Willy sambil mengusap bahunya yang mungkin memerah -- ia memakai seragam sekolah 'kan, jadi aku tak tahu -- dan ia langsung beranjak pergi dengan marah. Namun aku tak kalah marahnya.

Nah, begitu ceritanya. Karena itulah aku kini sedang marah pada Willy. Tapi, untung Willy jadi kapok. Rahasiaku tentang lambang 'Hi' tidak menyebar. Makanya latihan mengeluarkan kekuatan lambang masih kulanjutkan.

Dan suatu hari, semuanya berlangsung cepat.

Saat itu aku sedang latihan lambang (lagi). Dan kurasa, karena kekuatannya telah melampaui batas, maka tiba-tiba tanganku terbakar hebat -- dan apinya menjalari seluruh tubuhku. Aku mulai menyadari tiba-tiba tumbuh bulu loreng di tubuhku, muncul rambut lebat kecokelatan di leherku, dan aku mulai membungkuk dengan empat kaki -- dua tangan dua kaki, sebenarnya -- muncul lubang tipis berbentuk garis pada jari-jariku, dan jempolku tertarik mundur ke dekat siku.
Dan saat api padam, aku telah berwujud hewan campuran singa dan macan atau yang dikenal dengan nama liger.

Latihanku sukses besar.

Story 1: Gadis yang Terjatuh

Himaru dengan cepat mengacungkan tangan. Sesaat setelah pertanyaan dibacakan, Himaru langsung mencetak skor tertinggi diantara teman-temannya. "Yeah!" serunya senang. Ia akan pulang dengan sebuah piala lagi. "Hikari pasti senang," pikirnya mengingat saudarinya.
Hikari...Hikari...
Tiba-tiba Himaru ingat saat pertama kali ia mengenal Hikari.

6 tahun yang lalu...
Himaru kecil yang masih berusia enam tahun berjalan menyusuri sebuah jembatan kecil. Ia anak orang kaya, dan keluarganya bahkan mempunyai yayasan dan rumah sakit sendiri. Ya, mereka orang yang peduli lingkungan.
Dan tepat saat itulah Himaru melihat seorang gadis yang sebayanya berjalan juga dari arah berlawanan -- dengan agak terhuyung-huyung dan sebuah luka gesek di tangan kanannya. Gadis itu menggenggam erat dada kirinya -- daerah jantung -- dengan gemetar. Himaru nampak agak bingung sekilas, namun tiba-tiba gadis itu nampak seperti kehilangan kesadaran -- mungkin tertidur karena kelelahan -- dan gerakan terjatuhnya condong ke sungai. Jika saja tak ada yang menolong, pasti nyawanya telah terenggut arus sungai.
Untungnya, Himaru bereaksi cepat. Ia segera berlari secepat mungkin menghampiri gadis itu dan berhasil menangkapnya sebelum terlalu condong ke sungai.
"Uhh..." erang gadis itu. Himaru menjadi iba. ia menuntun gadis itu ke rumahnya sambil terus menggenggam bahunya -- ia takut gadis itu pingsan lagi di jalan.
"Siapa namamu?" tanya Himaru. Gadis itu berusaha mencerna kata-kata Himaru sesaat, kemudian langsung menjawab, "Hikari." Himaru tampak senang, dan menyahut, "Aku Himaru Ookami. Panggil saja Himaru." Hikari terdiam sesaat, kemudian menggumam, "Himaru..." tampaknya Hikari akan pingsan lagi, dan Himaru kembali menegakkan tubuh Hikari. "Hikari...ayo kita pulang." dan Himaru menuntun Hikari ke rumahnya yang megah.

Jumat, 14 November 2008

Chapter 1: Alfred's Beginning

"Ngos, ngos, ngos..." Alfred terhuyung-huyung berusaha berlari lurus terus, tapi paru-parunya menolak memberi oksigen lebih lagi. Akibatnya, Alfred nampak seperti orang mabuk. Namun tak bisa dipungkiri, kecepatan larinnya lumayan juga. walaupun sisa napasnya menipis.
"Ngos!" dengan sekali hentakan, Alfred melompat, dan garis finish pun terlewati. Tiba-tiba sang wasit muncul sambil meniup peluit sekali dengan panjang. Alfred melakukan Foul.
"Ini lomba lari! Lomba LARI!! Bukan lompat!" maki wasit itu. Alfred tertunduk malu.

3 hari kemudian...
Tiga hari setelah peristiwa yang mempermalukan seisi sekolah itu, Alfred masih nekat masuk sekolah walaupun ke sekolah itu berarti HANYA menerima cacian dari seluruh warga sekolah. "Damn it!" kata Alfred sepulang sekolah. "Menyebalkan! tidak bisakah aku hidup tenang sebentar saja?".
Tiba tiba muncul gempa yang dahsyat. Meja dan kursi di ruang makan rumah Alfred sampai bergetar hebat dan bergeser. Alfred langsung berlari keluar rumah. dan yang membuatnya terkejut, hanya rumahnyalah yang mengalami gempa tersebut. Rumah lain beserta isinya tampak tenang saja. Dan saat itu muncullah, dari rerumputan di halaman belakang rumah Alfred, sebentuk jam tangan berwarna hijau. Mirip Explorer Watch, jam tangan yang dipakai untuk bertualang yang ada cermin, senter, walkie-talkie, dan kaca pembesar selain jam saja.
Alfred terdiam sebentar, menatap jam tangan itu ragu, dan memutuskan untuk memakainya.
Dan didalam kepalanya, Alfred mendengar satu kata, "Legend."

Selasa, 28 Oktober 2008

Episode 1: Arthur's Introduction

Namaku Arthur. Aku adalah seorang anak dari tiga bersaudara, tepatnya kembar tiga. Umurku duabelas tahun. Banyak yang bilang aku selalu serius, tapi hey--aku juga boleh bersenang-senang sedikit kan?
"Apa itu?" tanya Willy otomatis saat aku membuka telapak tanganku di dalam laci. Ya, aku menyembunyikan sesuatu. "Hah? Oh, bukan, bukan apa-apa." jawabku sedikit gugup. Willy tersenyum nakal. Oh, God! Not again! pikirku. Kalau Willy sudah tersenyum begitu, bisa susah nanti.
Begini. Willy adalah seorang gadis kenalanku. Hei, jangan salah sangka dulu! Jujur saja, kami memang dekat. Tapi bukan dekat yang itu, tapi yang itu. Kami Dekat sebagai sahabat. Soalnya, mainan favorit kami sama, film kesukaan sama, jalan pikiran kami juga sama--bahkan kami bertetangga! Jadi, tidak heran aku sudah mengenalnya sejak TK, dan ternyata kami masuk SMP yang sama. Duduk kami bersebelahan, jadi kami bisa dengan mudah mengobrol.
Aku melihat telapak tanganku lagi. Lambang api dalam bahasa Jepang, alias 'Hi'. Apa itu ya? Aku cek nanti saja, ah!

------------------------------------------------------------------------------------
Aku mengacungkan tanganku ke depan. Berusaha berfokus pada Lambang itu. Siapa tahu jadinya seperti film Naruto dan aku bisa membuat Rasengan. Hei, siapa tahu?
Tanpa kusadari, dari sejak tadi Willy mengintipku dari balik semak.